menyediakan informasi unik,menarik tentang segala sesuatu yang ada di sekeliling kita

Menyingkap Tabir Kepalsuan NII

http://assets.kompas.com/data/photo/2011/08/27/0226418p.jpg
Diperiksanya Panji Gumilang, oleh penyidik kepolisian akibat dugaan pemalsuan dokumen sebagaimana yang dituduhkan oleh mantan Menteri Peningkatan Produksi Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah 9, Imam Supriyanto, ternyata belum bisa menyentuh pada dugaan makar yang dilakukan oleh pimpinan pesantren Al-Zaytun tersebut.
Padahal, tidak sedikit data dan informasi yang telah terpapar secara benderang di masyarakat, yang mengaitkan antara Panji gumilang, Al-Zaytun, dan Negara Islam Indonesia (NII). Salah satunya adalah buku berjudul Mengapa Saya Memilih Negara Islam. Selama satu tahun lamanya, Dewi Triana, penulis buku setebal dua ratus enam puluh lima halaman ini, menghabiskan waktu untuk melakukan riset tentang NII, dengan seperdua dari waktu tersebut dihabiskannya di lapangan.
Keseriusan Dewi dalam kajian sosiologis, baik mengenai dinamika gerakan maupun kelompok-kelompok keagamaan, khususnya yang disibak dari sudut pandang mikro dan dianalisis dari tingkat struktural ini, berbuah manis. Hal ini terlihat dari begitu banyak temuan-temuan, yang sejatinya selama ini sudah menjadi rahasia umum, mencengangkan sekaligus informatif, yaitu keterkaitan antara kelompok NII Komandemen Wilayah 9 (NII KW-9) dengan pondok pesantren Al-Zaytun di Indramayu, Jawa Barat. Kesimpulan tersebut diperoleh Dewi, berdasarkan pengakuan langsung dari mas’ul atau aparat yang menjadi pemateri ketika ia menyusup sebagai anggota baru yang ingin diangkat sumpah setianya. (Halaman 62)
Atas bantuan LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) dan NII Crisis Center, Dewi berhasil melakukan infiltrasi, yaitu bergabung menjadi anggota NII KW-9 untuk wilayah Jakarta Timur melalui proses tilawah, Mushahadah Hijrah, dan Binaan Ba’da Hijrah (BBM) atau Tazkiyah. Tilawah merupakan proses awal perkenalan, waktu bagi calon anggota diberi nilai-nilai dan ajaran, lalu diyakinkan untuk bergabung menjadi warga NII.
Setelah yakin dengan tilawah, langkah selanjutnya adalah calon anggota dibai’at dengan membaca 9 janji setia dan disahkan menjadi warga NII. Setelah itu, ada pembinaan pascahijrah yang semakin dikuatkan nilai-nilai baru, budaya organisasi, hingga akhirnya diberi pengarahan mereproduksi nilai-nilai tersebut kepada calon-calon anggota lainnya. Lalu, dari mana dana yang diperoleh NII KW-9 untuk bisa menggerakkan roda "pemerintahan", sekaligus menyokong keberadaan Al-Zaytun yang disebut-sebut sebagai pesantren terbesar di Indonesia, bahkan Asia Tenggara ini? Selain memiliki aktivitas perekonomian sendiri yang sudah jalan, seperti koperasi, rumah makan bernama Saung Sunda di kawasan Pondok Kelapa, juga usaha lain yang menambah pundi-pundi rupiah bagi NII KW-9 khususnya wilayah Jakarta Timur, yaitu Yayasan Dulur Selembur yang berlokasi di Kalimalang.
Selain itu, berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu respondennya, penulis juga menyingkap adanya yayasan fakir miskin dan yatim piatu fiktif sebagai sumber dana yang cukup besar bagi tim maliyah (tim keuangan). Para anggota tim dapat mengumpulkan bongkahan dana dari hasil meminta sumbangan yang mengatasnamakan yayasan tersebut. Umumnya, kotak amal "dikecrek" di ATM, busway, atau kereta Jabodetabek. Setiap hari, jumlah uang yang bisa "dihisap" kotak-kotak tersebut bisa mencapai Rp 200.000 per hari.
Meski demikian, dana yang diperoleh oleh NII KW-9 bukan dari tim maliyah secara an sich. Bahkan, para anggota juga memiliki kewajiban yang tidak ringan dalam hal pengumpulan dana. Dengan dalih sebagai infak, tidak sedikit dari para anggota pun menggelontorkan uang untuk NII. Nominalnya cukup fantastis untuk kebanyakan orang Indonesia. Ayu, misalnya, telah menghabiskan lebih dari Rp 20 juta. Ceria telah menghabiskan dana lebih dari Rp 4 juta. Uang tersebut antara lain digunakan untuk biaya masuk Rp 600.000, dana hijrah Rp 2 juta, dana infak per bulan Rp 250.000, dan juga dana Idul Adha sejumlah Rp 600.000. (Halaman 207)
Ayu dan Ceria memperoleh dana tersebut dengan cara meminta kepada orangtua dengan beragam alasan dan kebohongan, seperti untuk membeli buku-buku atau diktat kuliah, membayar uang kos, hingga menghilangkan laptop teman. Alasan-alasan tersebut dijadikan strategi untuk mendapatkan dana yang ditujukan untuk membangun Negara Islam. Bahkan, bila upaya tersebut tidak berhasil, maka para anggota disarankan untuk mencuri karena harta di luar NII KW-9 adalah harta kaum kafir dan itu bukanlah kejahatan, melainkan strategi untuk menang.
Berbeda dengan NII pimpinan Kartosuwiryo yang membawa gerakan politis secara terbuka dan frontal, NII KW-9 di bawah pimpinan Panji Gumilang menyetir gerakan politis dengan berbalut romansa-romansa Islami dengan cara tertutup dan eksklusif. NII KW-9 mengandung muatan tema-tema religius secara substansial dan menafsirkan doktrin politis, kontekstual, dan aktual, dengan menafsirkan ayat-ayat Al Quran serta ajaran-ajaran Islam hanya berdasarkan kepentingannya, dan berbeda jauh dengan ajaran Islam arus utama.
Secara keseluruhan, buku ini menampilkan sebuah gambaran fenomena maraknya kelompok-kelompok keagamaan yang berkembang di Indonesia, khususnya pascareformasi. Buku ini coba menggali dari studi mikro, yakni mencoba mengarahkan bagaimana seseorang dapat direkrut menjadi anggota dan bagaimana pula alasan individu tersebut memutuskan untuk keluar.
*Peresensi: Noval Maliki, pustakawan dan pembaca buku; tinggal di Yogyakarta.
oase.kompas.com/read/2011/08/27/0227007/Menyingkap.Tabir.Kepalsuan.NII