menyediakan informasi unik,menarik tentang segala sesuatu yang ada di sekeliling kita

Rahasia Memunculkan Sikap Arif (Bijaksasana)

Bismillah. Alhamdulillah bisa ngeposting lagi saudara saudara semuslimku. Kali ini ingin membahas tentang Sikap Arif. Setiap orang tentu berharap nasihatnya bisa diterima dengan baik. Apalagi kalau ia telah melakukannya dengan lembut dan cara sebaik-baiknya. Harapan diterima itu tentu semakin tinggi. Tapi respon dan balasan yang muncul tak selalu sesuai dengan keinginan. Kadang bukannya penerimaan yang didapat, tapi justru penolakan. Bukan senyuman yang diterima namun hujatan.
Penolakan yang tidak diharapkan itu, sering membuat hati terusik. Apalagi kalau penolakan itu dilakukan dengan kasar dan permusuhan. Niat yang semula baik itu pun bisa berbuah kekecewaan. Bahkan yang muncul sikap reaktif.

Kalau tadinya ayat kursi yang disampaikan, tapi karena emosi, ‘ayat tinju’ alias tempelengan yang dikeluarkan. Bukan pencerahan yang dihasilkan tapi keributan.
Atau sebaliknya, justru sikap pasif. Yang semula suka mengajak kebaikan, akibat pengalaman buruk itu muncul rasa enggan. Ada semacam trauma. “Saya tak akan memberi nasihat lagi. Sudah kapok 
berdakwah.
Sikap reaktif maupun pasif, tidak akan menghasilkan kebaikan bagi yang menasihati maupun yang dinasihati. Yang semestinya muncul adalah sikap arif.
 
Apa yang seharusnya kita lakukan agar muncul sikap arif? Bagaimana agar hati ini tetap teguh berdakwah dengan dorongan kekuatan spiritual?
Sayyid Quthb dalam tafsir Fii Dzilalil Qur’an, menerangkan bahwa ayat di atas menjelaskan cara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) menghadapi orang-orang yang berpaling dari dakwah. Yaitu dengan menghubungkan diri dan jiwa ini dengan kekuatan yang Maha Melindungi dan Maha Mencukupi.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menulis, diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa Abu Darda’ berkata; “Siapa yang membaca di waktu pagi dan petang hasbiyallah… (ayat di atas), sebanyak tujuh kali, maka Allah akan mencukupkan baginya apa yang meresahkannya.”
Dalam Tafsir Al-Misbah, Quraisy Syihab juga memberikan keterangan; “Allah memerintahkan untuk mengucapkan ayat di atas mengingatkan pentingnya bacaan tersebut agar sering- sering diucapkan.”
Hasbiyallah
Agar nasihat bisa diterima, teladanilah Rasulullah SAW. Beliau dai terbaik dan berdakwah dengan cara-cara yang terbaik pula. Hatinya penuh empati dan merasakan penderitaan kaumnya. Bukan sikap egois yang mau menang sendiri. Bersikap belas kasih dan penyayang. Bukan dengan tuduhan dan kebencian.
Namun demikian, kita juga harus tetap siap dengan kenyataan yang terjadi. Sebab, pada kenyataannya meski telah dilakukan dengan demikian lembutnya, umat tidak selalu menerima. Tidak sedikit yang justru mengolok beliau. Ajakan penuh kasih sayang ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) demi keselamatan mereka, malah direspon dengan permusuhan. Menghadapi kenyataan yang seperti itu, beliau dibimbing Allah SWT.
“Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: ‘Hasbiyallah laailaaha illa huwa….” “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia….”
Dengan zikir ini, Rasulullah SAW memiliki kekuatan spiritual menghadapi permusuhan kaumnya itu. Berlapang dada, tetap bersabar dan tidak bersikap reaktif. Permusuhan kaumnya itu sama sekali tidak membuat beliau surut ke belakang. Dan itu berarti menjadi nilai tambah gigihnya perjuangan di jalan Allah SWT. Malah keadaan yang kelihatan kurang menguntungkan itu, bagi Nabi dan orang-orang yang beriman berubah menjadi ladang kesabaran untuk mengundang pertolongan Allah SWT.
Agar kita tidak terjerembab dalam sikap reaktif atau pasif, ucapkan ayat al-Qur’an di atas sepenuh hati. ‘Hasbiyallah…’ Cukuplah Allah bagiku… Resapi dan hayati. Ucapkan berulang-ulang sampai hati ini terbimbing. Ucapan ini akan men-setting hati dan pikiran kita tetap fokus menjadikan Allah SWT sebagai tujuan.
Zikir ini bila dilakukan dengan tuma’ninah dan khusyuk, akan mengundang pertolongan-Nya. Kita tidak lagi terpana oleh hambatan. Terjebak oleh keresahan. Masa lalu yang semula membuat hati sempit, kini terasa lapang. Masa depan yang membuat resah, kini menjadi tenang. Ada aliran rahmat-Nya mengiringi perjalanan ini sehingga lahir sikap arif. Jika mereka bermaksud jahat, tidak usah panik. Hasbiyallah….cukuplah Allah sebagai pelindung.
“Dan jika mereka bermaksud menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para Mukmin.” (Al-Anfal [8]: 62)
 
Tawakal
Semua orang tentu ingin meraih kemuliaan. Tidak ada seorang pun yang bercita-cita hidup terhina. Namun, benarkah kemuliaan yang kita rebut itu yang hakiki atau justru yang semu? Ayat di atas membimbing kita untuk meraih kemuliaan yang hakiki. Bukan dengan memakai segala cara, tapi dengan cara bertawakal kepada Allah SWT.
Orang menasihati, yang disertai dengan tawakkal dan yang tidak tawakal seolah tidak berbeda. Lahiriah keduanya seperti sama, tapi sebenarnya sungguh jauh berbeda. Kalau bertawakal melahirkan sikap arif, ketidak tawakalan menimbulkan sikap reaktif atau pasif. Jika ketawakalan berbuah kemuliaan, ketidaktawakalan menjerumuskan seseorang dalam kehinaan.
Seorang yang tidak tawakal biasanya menyandarkan hasilnya semata pada usahanya saja. Oleh karena itu, kalau dakwahnya sukses dan mendapat pengikut banyak, dalam hatinya mungkin terbersit, “Inilah hasil usaha saya. Inilah kehebatan saya.” Dia meniadakan peran Allah SWT. Dia lalai bahwa pemberi hidayah yang sesungguhnya adalah Allah SWT. Dia lupa, kalau Allah SWT tak berkenan memberinya nafas, lisannya tak akan keluar suara. Akibatnya, keberhasilan itu malah berbuah kesombongan.
Sebaliknya, kalau tidak berhasil ia akan kecewa berlarut-larut. Seolah apa yang telah ia lakukan sia-sia saja. Ia pun marah (reaktif) atau justru putus asa (pasif). Seorang yang sukses tapi melalaikan pertolongan Allah SWT, pada hakikatnya telah gagal. Sama tidak berhasilnya dengan orang yang gagal dan putus asa.
Berbeda halnya jika seseorang dalam mengajak kebaikan itu diiringi dengan tawakal. Seorang yang bertawakal menyerahkan hasil usahanya itu kepada Allah SWT. Kita mengundang keterlibatan Allah SWT. Siap dibimbing-Nya, dan rela dengan segala ketentuan-Nya. Saat orang itu mau menerima nasihat, yang pertama muncul dari hati dan lisan kita adalah bersyukur. Allah-lah Al-Hadiy, Yang Mahapemberi hidayah, sedang kita hanya menjadi alat-Nya saja.

Sebaliknya, bila orang itu berpaling, kita bersabar. Yang dilakukan adalah introspeksi, sudahkah dalam berdakwah kita mengikuti cara Rasulullah SAW? Jika memang sudah baik, percayalah Allah Yang Maha Tahu kepada siapa dan kapan hidayah itu diberikan. Kita terima semua itu dengan bertawakal kepada- Nya. Semua pasti ada hikmahnya. Muncul sikap arif. Itulah pentingnya tawakal.
Syukur dan sabar, itulah yang menjadi syarat sukses seorang yang bertawakal. Dan kesuksesan yang didapat bukan hanya semu, tetapi hakiki karena apa pun yang terjadi semakin mendekatkan kepada Allah SWT. Itulah yang diteladankan oleh Rasulullah SAW.