Kesejahteraan peneliti di Indonesia dinilai kurang diperhatikan. Pemerintah pun dianggap kurang gandrung pada penelitian. Karena itu, banyak peneliti brilian asal Indonesia yang diambil negara lain.
"Malaysia, Singapura, itu banyak yang hunting peneliti ke sini. Mereka mencari peneliti yang sudah jadi. Kalau di sana ada tawaran materi yang lebih baik, di zaman yang hedonistik ini ya siapa yang tidak tergoda. Akhirnya banyak yang memilih ke negara lain," papar pakar ilmu kebumian dari LIPI, Prof Dr Ir Jan Sopaheluwakan, dalam perbincangan dengan detikcom, Rabu (26/10/2011).
Dia menambahkan, sudah sejak lama didengar kabar baik dari para generasi muda yang mengukir prestasi di dunia internasional. Berbagai olimpiade ilmu pengetahuan tingkat dunia diikuti, dan anak-anak Indonesia telah menyabet banyak pernghargaan.
"Mereka itu bibit yang bagus. Dari situ saja sebenarnya bisa kelihatan kalau Indonesia itu gudangnya orang cerdas, ulet dan istikomah. Mereka perlu dibina, karena nantinya menjadi aset bangsa yang luar biasa. Kalau perhatian dalam penelitian dan teknologi kurang, nanti mereka diambil negara lain. Yang rugi siapa?" imbuh peneliti utama LIPI ini.
Dia menuturkan, penelitian merupakan investasi jangka panjang. Beberapa hasil penelitian ada yang baru kelihatan belasan atau puluhan tahun mendatang. dia mencontohkan, teknologi luar angkasa diterapkan untuk teflon di alat masak. Pun tentang internet yang mulanya digunakan intelijen dan pertahanan AS, lalu bisa digunakan untuk keperluan damai dan publik.
"Penelitian untuk itu berapa puluh tahun lamanya. Kalau cuma dilihat 5 tahun saja ya gombal. Kalau mau yang cepat tanam tauge saja. Penelitian itu tidak instan dan merupakan investasi jangka panjang," imbuh peraih gelar PhD di Universitas Vrije Amsterdam Belanda ini.
Jan membandingkan dengan lembaga peneliti semacam LIPI di negara lain, seperti Singapura, yang menjadi bagian dari kebijakan nasional. Lembaga penelitian negara semacam LIPI di negara lain berada di bawah kepala negara. Mereka dapat melaporkan perkembangan dan rencana penelitiannya kepada kepala negara. Hal ini berbeda jauh dengan kondisi di Indonesia.
"Di kita sepertinya tidak gandrung pada penelitian," keluh Jan.
"Di Belanda, ada Akademi Ilmu Pengetahuan dan Seni di bawah Kerajaan Belanda. Ilmu pengetahuan dan seni dijadikan dalam satu wadah karena ilmuwan juga dapat dianggap seniman untuk berkreasi. Otak kiri dan kanan harus seimbang. Selama ini kan cuma otak kiri sana, intuisi dan harmoni kurang dapat," imbuh Jan.
Karena kesejahteraan peneliti yang belum cukup memadai, banyak dari mereka yang menggunakan otaknya untuk mengasong berbagai kegiatan lain. Misalnya melakukan penelitian yang tidak sesuai spesialisasi bidangnya, meskipun terdapat dasar pengetahuan yang sama.
"Untuk survival jadi bikin kegiatan di sana sini, pembicara di sana-sini, penelitian di sana-sini. Ini bukan yang tidak sesuai dengan bidang kita, tapi tidak sejalan dengan spesialisasi kita. Pada akhirnya kita memang jadi tahu banyak, tapi jadi tidak bisa di spesialisasi kita saja, dan harus bekerja seperti 48 jam sehari," curhat Jan.
Untuk diketahui, sekarang ini, gaji per bulan yang diterimanya sebagai profesor peneliti LIPI Rp 3,6 juta. Angka ini ditambah dengan tunjangan peneliti Rp 1,4 hingga 1,6 juta sehingga yang didapat Jan sekitar Rp 5,2 juta.
"Malaysia, Singapura, itu banyak yang hunting peneliti ke sini. Mereka mencari peneliti yang sudah jadi. Kalau di sana ada tawaran materi yang lebih baik, di zaman yang hedonistik ini ya siapa yang tidak tergoda. Akhirnya banyak yang memilih ke negara lain," papar pakar ilmu kebumian dari LIPI, Prof Dr Ir Jan Sopaheluwakan, dalam perbincangan dengan detikcom, Rabu (26/10/2011).
Dia menambahkan, sudah sejak lama didengar kabar baik dari para generasi muda yang mengukir prestasi di dunia internasional. Berbagai olimpiade ilmu pengetahuan tingkat dunia diikuti, dan anak-anak Indonesia telah menyabet banyak pernghargaan.
"Mereka itu bibit yang bagus. Dari situ saja sebenarnya bisa kelihatan kalau Indonesia itu gudangnya orang cerdas, ulet dan istikomah. Mereka perlu dibina, karena nantinya menjadi aset bangsa yang luar biasa. Kalau perhatian dalam penelitian dan teknologi kurang, nanti mereka diambil negara lain. Yang rugi siapa?" imbuh peneliti utama LIPI ini.
Dia menuturkan, penelitian merupakan investasi jangka panjang. Beberapa hasil penelitian ada yang baru kelihatan belasan atau puluhan tahun mendatang. dia mencontohkan, teknologi luar angkasa diterapkan untuk teflon di alat masak. Pun tentang internet yang mulanya digunakan intelijen dan pertahanan AS, lalu bisa digunakan untuk keperluan damai dan publik.
"Penelitian untuk itu berapa puluh tahun lamanya. Kalau cuma dilihat 5 tahun saja ya gombal. Kalau mau yang cepat tanam tauge saja. Penelitian itu tidak instan dan merupakan investasi jangka panjang," imbuh peraih gelar PhD di Universitas Vrije Amsterdam Belanda ini.
Jan membandingkan dengan lembaga peneliti semacam LIPI di negara lain, seperti Singapura, yang menjadi bagian dari kebijakan nasional. Lembaga penelitian negara semacam LIPI di negara lain berada di bawah kepala negara. Mereka dapat melaporkan perkembangan dan rencana penelitiannya kepada kepala negara. Hal ini berbeda jauh dengan kondisi di Indonesia.
"Di kita sepertinya tidak gandrung pada penelitian," keluh Jan.
"Di Belanda, ada Akademi Ilmu Pengetahuan dan Seni di bawah Kerajaan Belanda. Ilmu pengetahuan dan seni dijadikan dalam satu wadah karena ilmuwan juga dapat dianggap seniman untuk berkreasi. Otak kiri dan kanan harus seimbang. Selama ini kan cuma otak kiri sana, intuisi dan harmoni kurang dapat," imbuh Jan.
Karena kesejahteraan peneliti yang belum cukup memadai, banyak dari mereka yang menggunakan otaknya untuk mengasong berbagai kegiatan lain. Misalnya melakukan penelitian yang tidak sesuai spesialisasi bidangnya, meskipun terdapat dasar pengetahuan yang sama.
"Untuk survival jadi bikin kegiatan di sana sini, pembicara di sana-sini, penelitian di sana-sini. Ini bukan yang tidak sesuai dengan bidang kita, tapi tidak sejalan dengan spesialisasi kita. Pada akhirnya kita memang jadi tahu banyak, tapi jadi tidak bisa di spesialisasi kita saja, dan harus bekerja seperti 48 jam sehari," curhat Jan.
Untuk diketahui, sekarang ini, gaji per bulan yang diterimanya sebagai profesor peneliti LIPI Rp 3,6 juta. Angka ini ditambah dengan tunjangan peneliti Rp 1,4 hingga 1,6 juta sehingga yang didapat Jan sekitar Rp 5,2 juta.