Uang sebanyak itu dianggarkan untuk menyewa kantor di daerah pemilihan masing-masing anggota, menggaji staf, dan ongkos operasional selama setahun. Artinya, dikalikan 560 anggota Dewan, seluruh dana yang diperlukan adalah Rp 112 miliar.
Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) Pius Lustrilanang menyatakan, pendirian rumah aspirasi ini bertujuan agar rakyat di daerah bisa menyampaikan langsung aspirasi ke wakilnya. "Bujet disediakan dari anggaran BURT terkait pembangunan sarana yang jumlahnya sekitar Rp 3,3 triliun, walau pemerintah baru menyetujui sekitar Rp 2,7 triliun," kata Pius di kantornya, Jumat lalu.
Tapi, seperti halnya proposal mereka sebelumnya, rancangan program kali ini pun menuai pro-kontra di dalam maupun di luar lembaga legislatif. Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Budiman Sujatmiko, adalah salah satu yang menentang proyek ini.
Menurut dia, anggota Dewan tidak lagi memerlukan pos anggaran baru dan dana tambahan untuk membangun rumah aspirasi guna mendengarkan suara rakyat. Berkaca dari pengalaman pribadinya mengelola rumah aspirasi di Purwokerto, Budiman mengaku mampu membiayai operasionalisasi kegiatan itu menggunakan sebagian pendapatannya sebagai anggota Dewan (saat ini sekitar Rp 65 juta--Red.)
"Setiap bulan saya menyisihkan Rp 20 juta dari pendapatan saya sebagai anggota Dewan untuk operasional,” katanya kemarin. Dana tersebut cukup untuk membiayai tujuh orang staf di rumah aspirasi yang ia didirikan pada Oktober 2009.
Ia mengungkapkan, uang Rp 20 juta itu disisihkan dari tunjangan komunikasi intensif yang diterimanya setiap bulan, yang besarnya Rp 14,14 juta. Apalagi tiap wakil rakyat selama ini pun sudah mendapatkan dana penyerapan aspirasi. "Dana aspirasi itu diberikan tiap reses, besarnya 6 x Rp 8 juta," kata Budiman.
Dengan begitu, untuk keperluan menyerap aspirasi konstituen, para wakil rakyat ini sudah mendapat jatah masing-masing Rp 217,68 juta per tahun. Budiman khawatir, jika usulan dana “rumah aspirasi” ini disetujui justru akan menjadi bumerang bagi anggota Dewan sendiri. “Masyarakat akan berpikir rumah aspirasi itu sebagai tempat bagi-bagi uang. Ini tidak mendidik.”
Ketua Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang pun menyatakan usulan pos anggaran baru Rp 200 juta per anggota Dewan itu tak diperlukan. "Jangan sampai terjadi duplikasi dan pemborosan anggaran," ujarnya. "Itu sudah ada anggarannya."
Menurut dia, gagasan rumah aspirasi selama ini memang diterapkan di banyak negara demokrasi yang maju. Ia lalu menyebutkan beberapa anggota Dewan kita yang sudah melakukan program serupa menggunakan anggaran komunikasi intensif dan dana reses yang mereka terima. “Itu berjalan cukup baik," ujarnya.
Setelah Heboh Dana, DPR Kini Pikirkan Rumah Aspirasi
Quote:
TEMPO Interaktif, Jakarta - Setelah beberapa waktu lalu DPR sempat dihebohkan dengan dana aspirasi, kali ini rumah wakil rakyat sedang memikirkan untuk membangun rumah aspirasi. Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga Pius Lustrilanang menyatakan rumah aspirasi ini untuk meningkatkan keterpaparan masyarakat di daerah bisa menyampaikan langsung aspirasi ke wakil rakyatnya.
Ditemui Tempo di kantornya, akhir pekan lalu, Pius menyatakan rumah aspirasi ini akan menjadi sekretariat anggota dewan saat melaksanakan kunjungan kerja ke daerah pemilihan dan dan menyambung aspirasi secara langsung dari daerah untuk diperjuangkan di pusat. "Dengan begitu rakyat di daerah bisa menyampaikan suaranya tanpa harus ke Jakarta," kata Pius.
Rumah aspirasi akan berbentuk gedung permanen seperti kantor, tetapi bukan membangun rumah baru. Rencananya akan disediakan budget sekitar RP 200 juta per anggota per tahun untuk sewa kantor, menggaji staf dan operasional rumah aspirasi selama setahun.
Artinya, untuk membangun 560 rumah aspirasi butuh anggaran sekitar Rp 112 miliar. "Budget disediakan dari anggaran BURT terkait pembangunan sarana yang jumlahnya sekitar Rp 3,3 triliun itu. Walau pemerintah baru menyetujui sekitar Rp 2,7 triliun," kata Pius.
Pius menambahkan rumah aspirasi ini tidak bisa dibagi untuk sesama wakil rakyat di daerah pilihan berdekatan. Apalagi jika anggota dewannya berasal dari partai yang berbeda. “Tidak mungkin anggota DPR dalam suatu dapil mengelola kantor kesekretariatan bersama. Untuk menentukan lokasi tempat saja akan sulit karena basis konstituennya berbeda. Nanti malah ribut soal kantor di mana, stafnya siapa, melayani siapa,” katanya.
Tetapi, lanjut Pius, tidak dimungkinkan jika terus-menerus hanya mengandalkan penyampaian aspirasi melalui Dewan Pimpinan Cabang di daerah. "Wakil rakyat itu harus bisa mewakili seluruh rakyat dari segala golongan. Tidak hanya rakyat yang condong ke partai tempatnya saja," kata Pius.
Semua Proposal Berujung Duit
Quote:TEMPO Interaktif, Jakarta -
Tak cuma sekali ini para wakil rakyat kita, yang baru dilantik pada 1 Oktober tahun lalu, mengajukan proposal yang dianggap berlebihan. Dari berbagai kreativitas mengutak-atik program itu, ujungnya sama saja: meminta tambahan anggaran. Berikut ini beberapa di antaranya:
Mei
- Komisi XI meminta hak untuk membagikan alokasi dana APBN Perubahan 2010 ke daerah pemilihan mereka.
- Anggaran: Rp 20-30 miliar per anggota Komisi IX, total Rp 2 triliun.
Juni
- Ide “dana aspirasi” digulirkan Partai Golkar, dengan alasan banyak konstituen yang meminta bantuan.
- Anggaran: Rp 15 miliar untuk setiap anggota Dewan. Artinya, untuk 560 anggota, total anggarannya Rp 8,4 triliun.
Juni
- Setelah dana aspirasi kandas, muncul gagasan “dana desa”.
- Anggaran: Rp 1 miliar per desa. Saat ini tercatat ada sekitar 71 ribu desa/kelurahan di Indonesia.
Akhir Juli
- Usul “rumah aspirasi” kembali digulirkan dengan format baru.
- Anggaran: Rp 200 juta per anggota per tahun. Totalnya sekitar Rp 112 miliar.
Permintaan aneh lainnya:
- Tambahan tenaga ahli untuk setiap anggota.
- Asuransi anggota Dewan. Biasanya Rp 27,2 miliar atau Rp 66 juta per orang per tahun.
- Gedung baru DPR. Anggaran: Rp 1,8 triliun.
Catatan: DPR mengajukan anggaran ke Badan Urusan Rumah Tangga sekitar Rp 3,3 triliun. Pemerintah baru menyetujui sekitar Rp 2,7 triliun.
sumber